Place 728 x 90 Ad Here

Wednesday, February 18, 2009

Perlukah Indonesia Ganti Nama?

Nama-nama negara di dunia lazimnya mengacu pada tiga kategori. Menurut Daniel Sparingga dari Universitas Airlangga Surabaya, kategori pertama, nama negara diambil dari nama wilayah. Misalnya, Republik Kepulauan Solomon dan Republik Kepulauan Marshall. Kategori kedua, diambil dari nama bangsa yang mayoritas.

"Misalnya, China yang awalnya nama dinasti tapi kemudian dikonversi menjadi nama bangsa. Ada lagi Jepang, dari bangsa Jepang," kata Daniel dalam acara peringatan kemerdekaan RI di Jakarta Media Center, Kamis (16/8) malam.

Sedangkan kategori ketiga, nama negara disusupi semangat tertentu, spirit of the nation. Banyak sekali contohnya, mulai dari Selandia Baru, Papua Nugini dari frase Papua New Guinea sampai Amerika Serikat, The United States of America. "Nah, mohon maaf Pak Kiki, nama Indonesia ini di luar ketiga itu," kata Daniel, melempar senyum kepada bekas Wakil Kepala Staf TNI AD Letjen (Purn) Kiki Syahnakrie. Kiki juga jadi pembicara malam itu, di samping Fransiscus Welirang dari PT Indofood Sukses Makmur dan Arkand BZ, penggandrung metafisika dari Jogjakarta.

Lalu, jika penamaan Indonesia tidak lazim, perlukah diganti?

Daniel tak mengusulkan sejauh itu. Tapi di Jakarta beredar sudah satu buku tipis, 151 halaman, yang menggagas perlunya Indonesia ganti nama. Judul buku itu; Selamat Tinggal 'Indonesia', karangan lima orang tapi yang utama adalah Tengku Chandra Adiwana, Muhammad Haekal dan Erna Sari Girsang. Semuanya bukan sejarawan, wabil khusus bukan bekas mahasiswa ilmu sejarah, tapi gagasan yang mereka klaim orisinil itu cukup memikat sejumlah orang.

Misalnya, Rektor Universitas Bhayangkara Irjen Pol (Purn) Bibit Rianto Samad. "Saya pribadi berpendapat bisa saja dilakukan perubahan dari nama sekarang Indonesia saja," tulis Bibit dalam makalahnya untuk bedah buku itu di Jakarta, belum lama ini. Ketua Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Indro Tjahjono juga menyiratkan persetujuannya. Dia tidak menyanggah analisis gegabah dari para penulis soal amnesia yang berarti lupa ingatan sebagai kata yang paling mirip dari asal Indonesia; Indo dan Nesia.

"Orang asing yang lupa ingatan," tulis Tjahjono, mengukuhkan pendapat buku itu. Pemimpin Redaksi Harian Bisnis Indonesia, Ahmad Djauhar, dalam kata pengantarnya juga setali tiga uang. Ia membeber contoh negara yang sudah ganti nama, antara lain, Burma jadi Myanmar dan Rhodesia jadi Zimbabwe. Djauhar tak mengritik buku itu sedikit pun. Padahal, begitu banyak hal yang perlu diwaspada dalam buku itu. Misalnya, tim penulis meratapi tidak dicantumkannya kalimat "Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" dalam UUD 1945. Kalimat itu tentu terjemahan harfiah dari Basmallah yang pekat Islam. Maklum, mayoritas penulisnya memang berafiliasi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Anggota atau bekas anggota Himpunan ini memang macam-macam perangainya, mulai dari idealis sampai pragmatis, tapi umumnya akrab dengan mimpi-mimpi kebangkitan Islam dan sekitarnya.

Adiwana dkk juga menelusuri asal-usul nama Indonesia dengan bersandar hanya pada buku M Hatta, Nama Indonesia 'Penemu Komunis'? terbitan 1980. Lazim diketahui, nama Indonesia memang disematkan mula pertama oleh James Richardson Logan, ahli hukum kelahiran Skotlandia, dalam karangannya berjudul 'The Ethnology of the Indian Archipelago' tahun 1850.

Kata Indo berasal dari bahasa Latin untuk India atau Hindia, sedangkan Nesos dari bahasa Yunani untuk pulau. Adiwana dkk juga beranggapan, nama Indonesia bertentangan dengan kaidah nama-nama kerajaan kuno. Misalnya, bila dua kata digabung akan menghasilkan tiga huruf yang sama (huruf 'A' dalam Majapahit) atau ada huruf ganda di tengahnya (huruf G dalam Jenggala) dan masih banyak lagi. Tapi mereka lupa, akar kata-kata itu aslinya tidak ditulis dalam aksara Latin sehingga tidak memadai jika menganalisisnya berdasarkan penulisannya dalam aksara Latin.

Lantas, disebutkan juga pola penamaan Indonesia yang sama dengan Argentina. Keterpurukan Argentina dipaparkan untuk mengesankan semua itu akibat pemberian nama yang mereka anggap salah.

Soal kata nesia dalam Indonesia yang lebih mirip amnesia, dihubung-hubungkan dengan sederet argumen tentang hal-hal yang terlupakan di Indonesia. Misalnya, lupa sebagai bangsa kaya, lupa Bhinneka Tunggal Ika, lupa mencantunkan kata Allah dalam Konstitusi dan seterusnya.

Itu sebabnya, mereka pun mengusulkan nama Indonesia diganti menjadi Indonesiaraya (satu kata), Indonesia Raya, Nusantara atau Dwipantara. "Lagu Indonesia Raya menjadi fakta yang otentik, bahwa negara yang seharusnya diinginkan merdeka bukan dengan nama Indonesia, melainkan nama Indonesia Raya," tulis Adiwana dkk. Padahal, sebagaimana termuat dalam surat kabar Sin Po tanggal 28 Oktober 1928, judul lagu karangan Wage Rudolf Supratman itu cuma Indonesia, tanpa Raya. Lirik lagu itu bisa terbit bersamaan dengan hari pengucapan Sumpah Pemuda karena Supratman memang wartawan koran itu.

Sedangkan soal usulan nama Nusantara atau Dwipantara, Adiwana dkk tak mengajukan alasan kukuh, kecuali bahwa kedua nama itu dipakai Mpu Prapanca dalam Negarakretagama untuk menggambarkan wilayah kekuasaan Majapahit. Sekadar catatan, kitab itu sejatinya berjudul Decawarnana, uraian tentang desa-desa, tapi kemudian dipelintir jadi Negarakretagama, uraian tentang pembangunan negara.

Adiwana percaya benar, Majapahit adalah kerajaan adikuasa yang wilayahnya lebih luas dari Indonesia sekarang. Namun, dari 23 buku dalam daftar pustakanya, ia tak menengok perdebatan klasik soal tema ini seperti buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karangan Prof Slamet Mulyana atau Tatanegara Madjapahit karangan Prof Muh Yamin. Mereka masih menyebut adanya pro-kontra wilayah Majapahit, meskipun akhirnya sama-sama percaya keadikuasaan Majapahit.

Adiwana, tentu saja, berasal dari Aceh sedangkan empat penulis lainnya dari Sumatera Utara tapi semuanya justru mengusulkan nama Nusantara atau Dwipantara yang sangat Jawa --meskipun berinduk pada Sanskerta. Usulan nama Nusantara ini bukan orisinil dari mereka. Pramoedya Ananta Toer sudah lama menghendaki nama itu, meskipun Pramoedya menyebut dirinya sudah menanggalkan Kejawaannya.

Sedikit catatan, 23 buku yang dijadikan acuan dalam buku Adiwana dkk, semuanya berbahasa Melayu dan banyak yang tak berhubungan dengan sejarah pra-Indonesia. Misalnya, buku 'Kurasakan Getar Perjuanganmu' tahun 2005 yang disebut karya Krisnina Akbar Tanjung dan 'Fatwa-fatwa Kontemporer' karangan Yusuf Qardhawi tahun 1995. Alhasil, tulisan yang dikutip dari kedua buku itu sekadar penghias halaman. Dari buku Krisnina, misalnya, dikutip kalimat begini:

Mengapa kita "dididik" untuk saling mencurigai? Mengapa kita harus saling memusuhi? Mengapa kita saling mendzolimi? Mengapa sering mengklaim paling benar sendiri, sehingga yang lain harus dihabisi?

Saya kira, siapapun yang sengaja atau tidak sengaja menyebarkan promosi buku ini, terutama mereka yang percaya pada upaya penegakan syariat sekulerisme, akan menyesal seumur-umur, bahkan sampai liang kubur. Tapi saya merasa perlu berterima kasih, sebab mendapatkannya secara cuma-cuma, zonder bayar seketip pun. Adiwana mengatakan pernah membagi gratis buku itu 1.000 biji tapi tak satu pun penerimanya yang mengucap terima kasih.

1 comment:

Pico Seno said...

menarik ulasannya..

sekitar dua minggu lalu saya bertemu dengan Adiwana ketika mengantarkan istri saya untuk berkonsultasi mengenai logo usaha.
Saya mendengarkan argumentasinya mengenai banyak hal terkait dengan penamaan dan artinya. Saya juga menanyakan referensi-referensi dari ilmu yang dia bangun. Sejauh yang saya dengar langsung, semua argumennya logis, hanya mungkin referensinya kurang tepat dan lengkap karena dia melakukan risetnya sendiri dengan keterbatasan referensi penelitian serupa.

Sejujurnya saya menikmati mendengarkan argumen-argumennya sebagai sesuatu yang luput dari perhatian saya dan tentunya sebagai sesuatu yang baru.

Saya sendiri diusulkan untuk menggunakan huruf tambahan dalam penulisan nama, tapi saya tidak mengikutinya karena saya mempunyai argumentasi yang berbeda. :)

My Insta